Delapan Tahun Tersesat Di Kerajaan Jin
Belantara Kalimantan Selatan
Pedalaman Kalimantan sangat angker diantara
pulau-pulau lain di Indonesia. Keangkerannya sudah menjadi rahasia umum
khususnya di kalangan pekerja proyek jalur lintas Kalimantan Selatan maupun
para transmigran.
Wingit dan keangkeran belantara
Kalimantan Selatan tidak dapat bisa dijumpai hutan manapun di Pulau Jawa.
Masyarakat di daerah Sungai Nyamuk, Desa Lampahan, Kabupaten Kota Baru,
Propinsi Kalimantan Selatan sudah tidak aneh berpapasan maupun dihampiri jin
berwujud aneh baik pada malam hari maupun di siang bolong.
Diantara lebatnya pohon-pohon tua
berpostur raksasa, diyakini menjadi pusat Kerajaan Jin. Wilayah kekuasaannya
sangat luas hingga memakan separuh lebih daratan Pulau Borneo ini.
Gaung kebesaran raja jin masa lampau
bergelar Pangeran Agung Borneo ini jauh lebih populer dibanding presiden
Indonesia di alam manusia. Usianya tidak ada yang tahu persis, namun diyakini
sudah ada sebelum orang bule (Belanda) mendarat di Bumi Jamrud Katulistiwa itu
bahkan jauh sebelum Kalimantan dihuni bangsa manusia.
Sebagian anak-anak Dayak, bahkan menjalin
persahabatan dengan jin sudah bukan barang aneh. Anak dari suku pedalaman ini
punya bahasa sandi tersendiri untuk memanggil “sahabatnya” agar bersedia datang
dari alam gaib ke alam manusia.
Beda dengan mantera para supranatural
yang panjang berkelok-kelok, bagi anak Dayak hanya cukup menyebutkan beberapa
kata ke arah batang pohon tua dan besar, hanya dalam hitungan menit, dari dalam
batang pohon raksasa itu keluar jin dalam wujud anak sebaya anak manusia yang
mengundangnya.
Kedua bocah dari dua alam berbeda itupun
terlibat permainan tanpa rasa takut ataupun jengah hingga berjam-jam. Mereka
menghentikan permainan manakala di tempat itu melintas manusia dewasa ataupun
orangtua si anak manusia. Tetapi, sepanjang pemantauannya dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, aktivitas permainan kedua bocah dari dua alam berbeda itupun
tidak akan terusik.
Bagaimana jadinya jika ada manusia yang
secara tidak disengaja memasuki ataupun tersesat ke alam kerajaan jin? Tentu
ada dua kemungkinan. Jika masih beruntung, manusia bersangkutan akan menemukan
jalan keluar dari alam jin ke alam manusia. Tetapi jika apes, bisa-bisa
sepanjang sisa umurnya terjebak di alam jin. Lalu bagaimana jadinya jika
manusia tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran sehingga dianggap layak
untuk dihukum?
Ikuti peristiwa mencekam yang dialami
Nuryanto, 45 tahun, seorang transmigran asal Kabupaten Indramayu, Jawa Barat
yang mengadu nasib di daerah Sungai Nyamuk, Desa Lampahan, Kabupaten Kota Baru,
Propinsi Kalimantan Selatan.
Kang Nur, biasa dia disapa, diadili di
hadapkan hakim wilayah di kerajaan Pangeran Agung Borneo. Mampukah dia selamat
dari vonis hakim pengadilan bangsa jin dan menemukan jalan keluar ke alam
manusia? Ikuti kisah lengkapnya yang berhasil dirangkum Misteri....
Kang Nur terlahir dari keluarga buruh
nelayan di Desa Ujung Gebang, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Sejak kanak-kanak dia sudah akrab dengan pekerjaan sebagai nelayan.
Tetapi ganasnya gelombang Pantai Utara
(Pantura) secara tragis “melahap” nyaris dua per tiga daratan Desa Ujung
Gebang. Rumah Kang Nur termasuk menjadi korban ganasnya gelombang Laut Jawa
Pantura.
Tanpa sisa apapun, Kang Nur dan istri
serta seorang anaknya didaftarkan pamongdesa setempat menjadi peserta
transmigran yang dibiayai Dinas Kependudukan setempat. Tanpa keluar biaya
sepeserpun, Kang Nur diberangkatkan ke daerah Sungai Nyamuk, Desa Lampahan,
Kabupaten Kota Baru, Propinsi Kalimantan Selatan.
Di Desa Lampahan dia menerima satu rumah
sederhana dengan dinding dari papan kayu dan atap dari lembaran seng. Sebagai
sumber penghasilan, dia mendapat hak mengelola 2 hektare lahan yang sudah
dibuka pemerintah daerah setempat. Sebelum mendapatkan penghasilan, selama dua
tahun, Kang Nur maupun para transmigran lain menerima jatah hidup (jadup) dari
Pemkab Indramayu berupa beras, lauk dan kebutuhan dapur lainnya.
Secara sekilas, Kang Nur tidak lagi
terbelit kesulitan seperti yang membelitnya selama tinggal di Desa Ujung
Gebang. Tetapi, situasi dan kondisi transmigran yang jarak antar rumah
penduduknya saling berjauhan mengundang malapetaka.
Suatu siang di awal Maret 2000, Kang Nur
uring-uringan, pasalnya biasanya pada jam-jam itu Rokmah, 40 tahun, sudah
datang ke ladang mengantar makan pagi, entah kenapa hampir tengah hari istrinya
itu masih belum juga datang.
Sambil menahan dongkol disertai deraan
lapar yang melilit, Kang Nur meninggalkan ladangnya maksudnya hendak mendamprat
sang istri yang telat mengantar makan pagi. Satu jam perjalanan membelah
perkebunan, Kang Nur tiba juga di rumah sederhananya itu.
Rumahnya terlihat sepi. Dia sengaja
muncul dari pintu dapur. Keheningan rumah memancing kecurigaan. Laki-laki
berpostur kurus itupun beranjak meninggalkan dapur menuju ruang tengah. Saat
melintas di depan pintu kamar tidur, detak jantung Kang Nur nyaris terhenti.
Sangat jelas dia menyaksikan tubuh polos
istrinya terkapar di lantai dengan beralaskan kain pakaiannya sendiri. Kang Nur
langsung menubruk seraya menanyakan peristiwa yang dialami.
Terbata-bata Rokmah menjelaskan kalau
dirinya selama dua jam lebih jadi bulan-bulanan aksi pemerkosaan lima orang
pria tak dikenal. Setelah menjelaskan, wanita beranak satu itupun langsung
pingsan dalam pelukan suaminya.
Kang Nur murka. Tapi karena yakin kelima
pria pemerkosa istrinya itu kelompok penjahat yang biasa bersembunyi dari
kejaran polisi di dalam hutan, Kang Nur tidak bernyali untuk melakukan
pengejaran.
Dia sadar, pengejarannya bukan saja
sia-sia bahkan akan mengundang bahaya besar terhadap dirinya. Apa jadinya jika
dirinya tewas dibantai kelompok penjahat itu? Bagaimana nasib istri dan
anaknya? Atas pertimbangan itulah, aib yang dialami istrinya itu hanya dicatat
dalam batinnya sendiri.
Tetapi, tiap kali membayangkan tubuh
istrinya jadi “santapan” lima pria bejat, amarahnya langsung naik ke kepala.
Pada puncaknya, kejiwaan Kang Nur mulai terguncang. Selang satu bulan setelah
peristiwa itu, Kang Nur meninggalkan rumahnya menuju ladang.
Anehnya, lajur ladang seluas dua hektare
itu dia tinggalkan dan makin lama langkahnya makin jauh meninggalkan daerah
Sungai Nyamuk dimana lokasi tersebut sudah dibuka pemerintah setempat buat
aktivitas para transmigran.
Beberapa jam berikutnya, langkah Kang Nur
memasuki belukar setinggi paha dengan pepohonan raksasa sangat rapat di
sekelilingnya. Kini Kang Nur sudah melangkah memasuki belantara Kalimantan yang
tersohor itu.
Goresan duri pada betis dan paha
sedikitpun tidak dia rasakan bahkan darah yang mulai memenuhi telapak kakinya
akibat goresan duri dia abaikan. Seharian penuh tanpa henti dia melangkah
menerobos rapatnya belukar.
Dia menghentikan langkah saat tenaganya
sudah terkuras habis disertai perutnya yang sudah kandas. Dia duduk di bawah
pohon ukuran sedang di samping pohon berpostur raksasa menjulang langit.
Selama mengayun langkah, laki-laki kurus
itu lebih banyak menunduk mengamati belukar yang akan dilalui. Hanya beberapa
kali saja mendongakkan wajah ke langit yang sebagian terhalang rimbunnya
dedaunan.
Pada saat mendongak ke atas, sontak
langkah kakinya terhenti bahkan nyaris berhenti bernafas manakala dia
menyaksikan pohon kantil yang menaungi kepalanya. Tetapi bukan karena daunnya
yang rimbun sehingga menyontakkan langkah kakinya melainkan ada keganjilan pada
bentuk kembangnya.
Diantara ratusan bahkan ribuan kuntum
kembang yang mekar itu, diantaranya ada dua kuntum kembang kantil yang unik,
ganjil dan horor, dimana satu kuntum bentuknya berupa perempuan bugil secara
utuh sebesar lengan orok manusia dan satu kuntum lainnya hanya sebatas pantat
hingga ke ujung kaki yang juga telanjang.
Begitu kesimanya hingga Kang Nur belasan
menit lamanya mengamati keganjilan kembang kantil dan saat menurunkan wajahnya,
dia terlonjak mundur. Apa lagi yang telah terjadi….
Kening Kang Nur berkerut tiga lipatan.
Betapa tidak, di bawah kakinya kini tak ada lagi belukar. Ditoleh ke penjuru
angin, tak ada batang-batang pohon sebesar gajah itu semuanya lenyap secara
misterius selain hanya pohon kantil yang masih bertahan pada posisinya.
Tanah yang dia injak terasa empuk agak
berpasir. Sekali lagi diamati jarak di kejauhan sana. Sejauh mata memandang
hanya ada gurun pasir sangat senyap. Di langit tak tampak bola matahari,
sehingga situasinya cukup temaram. Begitu juga saat pandangan diedarkan ke
belakang tubuhnya, sejauh mata memandang hanya ada gurun pasir dengan lembahnya
yang landai di antara bukit-bukit gundul.
Keputusanpun sangat sulit untuk diambil.
Apakah melangkah kembali ke belakang atau melanjutkan langkah ke depan menuju
daerah yang sama-sama asing bagi Kang Nur. Tetapi apapun yang akan terjadi,
laki-laki diambang putus asa itu memutuskan tetap melanjutkan langkah
meninggalkan pohon kantil yang misterius itu.
Tak kenal lelah dan haus, langkah kaki
Kang Nur terus terayun tanpa arah hingga satu lembah sudah dilalui dan kini
bergerak mendaki bukit gundul setinggi ratusan meter. Pada puncak bukit, Kang
Nur menghentikan langkah menatap lembah di depannya.
Kali ini perasaan yang semula kalut
berubah agak girang. Di lembah sana terlihat kesibukan manusia menyerupai kota
kecil. Tidak menunggu lama, bukit gundul ditinggalkan dan tergesa-gesa
menghampiri keramaian penduduk.
Perjalanan menyusuri lembah memancing
datangnya rasa lapar. Dia raba saku celana panjangnya. Tak selembarpun dia bawa
uang. Lalu pakai apa beli makanan disana. Dalam kondisi panik, langkah Kang Nur
sudah memasuki hilir mudik…orang?
“Astighfirullah…dimanakah aku sekarang?
Mahluk macam apa mereka?” Kang Nur membathin.
Orang dalam jumlah banyak yang berada di
sekelilingnya terkesan cuek ataukah mereka tidak melihat keberadaannya. Tetapi
yang membuat Kang Nur takjub, bentuk mereka kurang lazim dalam arti bentuknya
tidak proporsional.
Ada orang kurus tetapi perutnya sebesar
pedaringan tempat penyimpanan beras. Ada orang kurus kepalanya besar menyerupai
balon. Ada juga yang sebaliknya, badannya gemuk luar biasa tetapi kepalanya
hanya sebesar butiran kelapa gading.
Mereka mondar-mandir dengan berbagai
aktivitasnya masing-masing. Sekian lama tercenung, tak sadar laparpun mendera
perutnya. Akibat sangat lapar, jari jemari tangan mulai gemetar. Pada puncak
deraan lapar, ekor mata Kang Nur membentur bongkahan roti di atas gerobak yang
ditarik laki-laki berbadan besar dengan kepala mungil.
Saat gerobak tepat melintas di sisinya,
satu bongkah roti disambar secepat kilat. Baru saja menyembunyikan bongkahan
roti sebesar bata merah itu ke balik baju, gerobak langsung berhenti. Laki-laki
besar itu menghampiri seraya membentak sangat kasar sambil menggeledah baju
hingga ditemukan bongkahan roti.
Dengan barang bukti di tangannya,
laki-laki itu teriak-teriak maling hingga puluhan laki-laki berbagai bentuk
mengepung dan meringkus Kang Nur. Tidak berapa lama, tiga laki-laki berjubah
mengendarai kuda putih muncul dari kejauhan.
Kedatangan ketiga laki-laki perlente itu,
orang-orang yang meringkus Kang Nur langsung menjelaskan kasus pencurian yang
dilakukan Kang Nur. Ternyata tiga laki-laki berkuda itu tak lain hakim wilayah.
Tiga laki-laki itu berdiri
berhimpit-himpitan menghadap Kang Nur. Laki-laki yang berdiri di tengah
mengeluarkan buku tebal lalu membacakan pasal-pasal yang kurang dipahami Kang
Nur.
Selesai membaca pasal-pasal dari buku
tebal, hakim ketua itupun menjatuhkan vonis potong tangan kanan. Atas perintah
hakim, Kang Nur diarak menuju gedung kokoh yang tidak lain gedung penjara.
Kang Nur didorong ke dalam ruangan penuh
orang-orang yang kemungkinan tahanan lalu pintu jeruji digembok dari luar.
Diamati puluhan laki-laki dan perempuan yang ada di ruangan cukup temaram itu.
Tak sadar Kang Nur bergidik penuh ketakutan.
Pasalnya anggota badan orang-orang yang
menghuni ruang itu tidak utuh lagi. Ada yang buntung lengan kanannya, ada yang
lengan kirinya atau kedua tangan seluruhnya buntung. Ada yang tanpa hidung,
tanpa bibir bahkan ada yang tanpa kaki. Tentu saja mereka tidak cacat lahir
melainkan akibat hukuman yang dijatuhkan hakim atas perbuatan jahat yang
dilakukan.
“Ya Allah, tidak rela hamba harus
kehilangan tangan hanya karena mencuri sebongkah roti…,” rintih Kang Nur penuh
uraian air mata.
Entah berapa jam dia tercenung dengan air
mata sesekali membasahi pipinya yang tirus. Lamunan itupun sontak buyar
manakala langkah berat berhenti di depan pintu jeruji. Kang Nur tak bernyali
mendongak, karena pasti yang datang itu seorang algojo yang akan memotong tangan
kanannya.
“Siapa diantara kalian yang bernama
Nuryanto bin Carmadi?”
Bulu kuduk Kang Nur langsung meremang
mendengar namanya disebut. Karena tak ada sahutan, laki-laki di depan pintu
jeruji kembali melempar pertanyaan yang sama.
Saat itulah Kang Nur berani mendongak
menatap laki-laki di depan jeruji. Ternyata tidak seperti yang dibayangkan.
Laki-laki di depannya sangat tenang, bahkan ada sorot kasih dari sorot matanya.
“Jangan takut. Aku sudah diizinkan
Baginda Pangeran Agung Borneo untuk membawamu keluar dari kerajaan ini…” kata
laki-laki jumawa itu.
“Apakah tanganku tidak jadi dipotong,
Tuan?” tanya Kang Nur.
“Ya. Atas permintaan Baginda Raden
Werdinata, putusan hakim dicabut dan kamu akan aku bawa ke alammu kembali.”
“Tuan sendiri siapa?” tanya Kang Nur.
“Aku Patih Jongkara utusan Baginda Raden
Werdinata penguasa Raja Pulomas Indramayu,” urai Patih Jongkara.
Usai bercakap-cakap, petugas sipir
membuka gembok pintu jeruji dan menyuruh Kang Nur untuk keluar. Baru saja
berdiri di luar pintu jeruji, tangan Patih Jongkara langsung menggambit ketiak
kiri Kang Nur laksana tengah membetot. Susah dipercaya, tubuh Kang Nur
terlempar jauh dan punggungnya membentur sesuatu.
Sambil merintih kesakitan, Kang Nur
berjuang untuk duduk. Dia celingukan kesana kemari. Saat itu baru sadar kalau
dia kini duduk di antara sela akar timbul pohon raksasa. Beberapa langkah di
depannya tampak belukar dan…pohon kantil.
“Alhamdulillah…sekarang sudah kembali ke
alamku,” bisik Kang Nur.
Saat itu hari masih pagi, Kang Nur
melangkah tertatih-tatih memutar badan menuju ke arah rumahnya. Pasti semalaman
tadi istrinya sibuk melakukan pencarian, pikirnya. Memasuki ladangnya, Kang Nur
dibuat kaget, sebab tanaman kelapa sawit di ladangnya sudah tumbuh tinggi
bahkan sedang berbuah lebat. Lalu muncul dua laki-laki sebayanya. Kang Nur
langsung menyapa mereka.
“Maaf Pak, apakah ini ladang sawit
punyaku?” tanya Kang Nur.
Kedua laki-laki itu saling berpandangan
satu sama lain. Lalu salah satunya menjawab. “Maaf, Bapak ini siapa? Sudah enam
tahun aku mengelola ladang sawit ini.”
“Bapak jangan gurau. Biarpun ada yang
aneh, aku sangat hafal dan yakin sebab akulah yang menanam sawit di ladang
ini,” bantah Kang Nur.
“Sekali lagi minta maaf, siapakah Bapak
ini?”
“Aku Nuryanto pemilik ladang ini. Bapak
siapa dan alasan apa Bapak mengaku sebagai pemilik ladang ini?” Tanya Kang Nur.
Keduanya kelihatan tambah bingung campur
kaget. “Ini sulit diterima akal. Aku memang beli ladang ini berikut surat-surat
atas nama Nuryanto.”
“Lalu Bapak beli ladang ini lewat siapa?”
“Aku beli dari Bu Rokmah enam tahun
lalu.”
“Loh, dia kan istriku? Dimana dia
sekarang?”
“Rokmah dinikahi sopir perusahaan pupuk
Kaltim kini tinggal di daerah Kutai Kertanegara Kalimantan Timur,” jelas
laki-laki itu.
Kang Nur giliran yang terlonjak kaget.
“Ah, Bapak bergurau terus. Kapan istriku menikah?”
“Setelah menjual ladang, Bu Rokmah
diboyong suaminya ke Kutai, ya kira-kira enam tahun silam.”
Kang Nur tidak percaya. Bergegas dia lari
meninggalkan dua laki-laki tadi menuju rumahnya. Kembali dia dibuat bingung.
Rumah yang dia tuju sudah berbeda jauh. Kini sudah ada tiga rumah cukup mewah
dengan dinding bercat kuning dan di teras dijumpai seorang wanita paruh baya
tak dikenal bersama dua anak kecil.
“Ya Allah, apa sesungguhnya yang telah
terjadi? Mana mungkin aku meninggalkan istriku selama itu? Padahal aku masuk
tahanan hanya semalam?”
Lamunan Kang Nur buyar bersama
mendaratnya tepukan pada pundaknya. “Bukankah kamu Kang Nur?”
Kang Nur membalikkan badan dan di
depannya berdiri Arsyad sesama transmigran dari Indramayu. Tapi kondisi Arsyad
jauh lebih tua dibanding saat Kang Nur meninggalkan rumahnya.
“Mohon dijawab Kang Arsyad, kemana
istriku sekarang?” tanya Kang Nur setengah menangis.
“Aku sendiri kaget, kamu ternyata masih
hidup,” jawab Arsyad.
Dituturkan Arsyad, delapan tahun silam
Kang Nur dinyatakan meninggal disantap binatang buas di tengah hutan. Segala
pencarian gagal total. Selang dua tahun setelah hilangnya Kang Nur, datang
sejumlah armada truk mengangkut pupuk untuk dijual di perkebunan ladang sawit.
Dari sekian banyak sopir, salah satunya naksir Rokmah yang dinyatakan janda
kembang hingga keduanya sepakat untuk menikah.
Karena statusnya sopir pabrik pupuk
Kaltim, Rokmah diajak pindah ke Kutai untuk tinggal disana. Sebelum berangkat
ke Kutai, seluruh ladang sawit dijual kepada penduduk lain yang berminat.
Mendengar penjelasan Arsyad lemaslah
sepasang dengkuk Kang Nur, sebab ternyata dia sudah delapan tahun meninggalkan
alam manusia. Karena iba, Arsyad mengajak Kang Nur untuk tinggal di rumahnya yang
hanya berselang beberapa petak dari ladang sawit miliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar